Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2003, Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tennggara telah memulai ayunan langkah pertama untuk
mengawali kebijakan dan program pembangunan hampir 20 tahun ke depan, dengan
harapan beberapa landas tumpu telah dapat diupayakan sebagai tapak menuju pragmatik
2020. Mewujudkan Sultra yang maju dan berkembang secara berkelanjutan pada era
transparansi global !
Tematik “Sultra Raya 2020” adalah sudut pandang
tentang kebijakan dan program menuju kebangkitan Sulawesi Tenggara pada tahun
2020. Artinya, pada tahun tersebut Sultra telah berhasil mencapai posisi
sebagai daerah yang maju dan berkembang, serta memiliki kedudukan dan peranan
yang berhormat secara nasional dan mondial.
Sultra adalah satu dari tidak banyak provinsi yang
memiliki potensi budaya lokal, dengan nilai dan semangat lokal, yang luar
biasa. Penduduk asli Sultra adalah (i) suku Tolaki, awalnya mendiami daerah kabupaten
Kendari dan Kolaka (daratan); (ii) suku Wawonii, di Pulau. Wawonii, serumpun
dengan suku Tolaki; (iii) suku Muna atau Wuna, yang mendiami seluruh daratan Pulau Muna dan pulau sekitarnya; (iv)
suku Moronene, awalnya dari utara, lalu mendiami kawasan Moronene, daratan bagian
selatan; (v) suku Buton mendiami Pulau Buton; (vi) suku yang mendiami Pulau
Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi), serumpun dengan suku
Buton.
Di
samping penduduk asli, hidup pula (vii) suku Bugis, tersebar di daerah pantai
hingga ke pelosok; (viii) suku Makassar dan Selayar; (ix) suku Toraja, Mori,
Pamona dan Bungku; (x) suku Minahasa, Sangir, Ambon dan Timor; serta (xi) suku pendatang,
di antaranya melalui transmigrasi adalah suku Sunda, Jawa, Bali dan Lombok
(NTB). Pada saat ini semua suku praktis telah berbaur, kawin-mawin, ditambah
hampir seluruh suku dari Papua hingga Aceh, mengkonstruksikan kekayaan budaya
dan peradaban yang mengagumkan dan itulah yang dimaksud dengan Sultra Raya.
Sesuai
dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika –
Tan Hana Darm-ma Mangrwa, warisan sejarah budaya ini wajib dilestarikan. Masyarakat
Buton sungguh beruntung masih memiliki peninggalan Keraton Buton yang hampir
dapat dikatakan utuh. Saya berfikir. Warisan budaya Wuma di antaranya dapat
dikonstruksikan dari Raja Muna V, Sugi Manuru, yang melebar ke arah strata
Kaumu, Walaka dan Anangkoli. Di daratan bisa dimulai dengan masa Wakala, Sri
Ratu Raja Konawe, sampai pemerintahan Perdana Menteri Sulemandara Saranani di
Pondidaha dan jalur-jalur Anakia, juga Puu Tobu yang lain. Ingatan masyarakat
Moronene tentang keperwiraan nenek-moyangnya yang bergerak dari Mori (Sulteng)
sungguh kemilau bila segera dikonstruksikan dalam situs sejarah dan budaya. Warisan
sejarah budaya yang sama bisa diupayakan di kalangan penduduk asli lain yang
tinggal di Kolaka, Bombana, Wakatobi dan pulau-pulau yang ada lainnya. Tentu
semua ini perlu pengkajian yang cermat.
Yang
pasti, Sultra Raya 2020 meletakkan sejarah dan budaya masa lalu sebagai sudut
pandang pemerintah dan masyarakat menuju masa depan. Lokalitas justru semakin
hadir secara lebih fungsional pada era globalisasi. Dalam kebersamaan antarsuku
dan antarbangsa, kita semakin membutuhkan kata “pulang”. Mudik ke haribaan
nenek moyang menjadi ritus yang indah dan mengagumkan; country road, kata John Denver dalam nyanyiannya.
Di bumi
nenek-moyang ini kita dilahirkan. Dan kelak di bumi yang sama kita akan
dikebumikan. Siapa yang menghargai nenek-moyang kita selain kita ?!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar