Senin, 12 November 2012

Sultra Raya 2020



Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2003, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tennggara telah memulai ayunan langkah pertama untuk mengawali kebijakan dan program pembangunan hampir 20 tahun ke depan, dengan harapan beberapa landas tumpu telah dapat diupayakan sebagai tapak menuju pragmatik 2020. Mewujudkan Sultra yang maju dan berkembang secara berkelanjutan pada era transparansi global !

Tematik “Sultra Raya 2020” adalah sudut pandang tentang kebijakan dan program menuju kebangkitan Sulawesi Tenggara pada tahun 2020. Artinya, pada tahun tersebut Sultra telah berhasil mencapai posisi sebagai daerah yang maju dan berkembang, serta memiliki kedudukan dan peranan yang berhormat secara nasional dan mondial.
           
Sultra adalah satu dari tidak banyak provinsi yang memiliki potensi budaya lokal, dengan nilai dan semangat lokal, yang luar biasa. Penduduk asli Sultra adalah (i) suku Tolaki, awalnya mendiami daerah kabupaten Kendari dan Kolaka (daratan); (ii) suku Wawonii, di Pulau. Wawonii, serumpun dengan suku Tolaki; (iii) suku Muna atau Wuna, yang mendiami seluruh  daratan Pulau Muna dan pulau sekitarnya; (iv) suku Moronene, awalnya dari utara, lalu mendiami kawasan Moronene, daratan bagian selatan; (v) suku Buton mendiami Pulau Buton; (vi) suku yang mendiami Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi), serumpun dengan suku Buton.

Di samping penduduk asli, hidup pula (vii) suku Bugis, tersebar di daerah pantai hingga ke pelosok; (viii) suku Makassar dan Selayar; (ix) suku Toraja, Mori, Pamona dan Bungku; (x) suku Minahasa, Sangir, Ambon dan Timor; serta (xi) suku pendatang, di antaranya melalui transmigrasi adalah suku Sunda, Jawa, Bali dan Lombok (NTB). Pada saat ini semua suku praktis telah berbaur, kawin-mawin, ditambah hampir seluruh suku dari Papua hingga Aceh, mengkonstruksikan kekayaan budaya dan peradaban yang mengagumkan dan itulah yang dimaksud dengan Sultra Raya.

Sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika – Tan Hana Darm-ma Mangrwa, warisan sejarah budaya ini wajib dilestarikan. Masyarakat Buton sungguh beruntung masih memiliki peninggalan Keraton Buton yang hampir dapat dikatakan utuh. Saya berfikir. Warisan budaya Wuma di antaranya dapat dikonstruksikan dari Raja Muna V, Sugi Manuru, yang melebar ke arah strata Kaumu, Walaka dan Anangkoli. Di daratan bisa dimulai dengan masa Wakala, Sri Ratu Raja Konawe, sampai pemerintahan Perdana Menteri Sulemandara Saranani di Pondidaha dan jalur-jalur Anakia, juga Puu Tobu yang lain. Ingatan masyarakat Moronene tentang keperwiraan nenek-moyangnya yang bergerak dari Mori (Sulteng) sungguh kemilau bila segera dikonstruksikan dalam situs sejarah dan budaya. Warisan sejarah budaya yang sama bisa diupayakan di kalangan penduduk asli lain yang tinggal di Kolaka, Bombana, Wakatobi dan pulau-pulau yang ada lainnya. Tentu semua ini perlu pengkajian yang cermat.

Yang pasti, Sultra Raya 2020 meletakkan sejarah dan budaya masa lalu sebagai sudut pandang pemerintah dan masyarakat menuju masa depan. Lokalitas justru semakin hadir secara lebih fungsional pada era globalisasi. Dalam kebersamaan antarsuku dan antarbangsa, kita semakin membutuhkan kata “pulang”. Mudik ke haribaan nenek moyang menjadi ritus yang indah dan mengagumkan; country road, kata John Denver dalam nyanyiannya.

Di bumi nenek-moyang ini kita dilahirkan. Dan kelak di bumi yang sama kita akan dikebumikan. Siapa yang menghargai nenek-moyang kita selain kita ?!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar