Para Tolea dan Pabitara adat Tolaki. Photo: Yos Hasrul/Kendarikita.com |
Sejak pagi, tiga puluhan orang sudah berkumpul di balai desa. Membuat ruang balai desa yang kecil itu nampak begitu sesak.
Sebagain dari mereka datang dari desa-desa yang jauh di sepanjang sungai besar Konawe-Eha, yang berhulu di Kabupaten Kolaka.
Usia mereka bervariasi dari empat puluhan hingga enam puluhan tahun. Banyak dari mereka adalah perokok berat hingga asap benar-benar memenuhi ruangan. Mereka memang dari kalangan biasa, namun dalam strata adat masyarakat suku Tolaki mereka orang-orang istimewa dengan menyandang gelar Tolea dan Pabitara.
Secara harfiah, Tolea berarti juru runding adat khususnya dalam kegiatan peminangan atau pernikahan yang sebagian orang dinilai terlampau rumit. Peminangan atau dalam bahasa Tolaki disebut Mowawo Niwule, merupakan salah satu bagian prosesi perkawinan masyarakat suku Tolaki.
Dalam melakukan upacara peminangan kedua belah pihak diwakili oleh juru bicara masing- masing yaitu seorang tolea untuk juru bicara pihak laki-laki dan seorang pabitara untuk juru bicara pihak perempuan. Dalam menjalankan adat menggunakan bahasa adat yang literer dan formal yang bertujuan untuk memperindah dan mempertegas maksud penutur kepada mitra tutur.
Tolea bisa juga disepadankan dengan diplomat, sebab tidak terbatas pada urusan perkawinan saja, melainkan urusan adat lainnya seperti perselisihan antara keluarga, kawin lari, hingga perselisihan antara etnis. Peran tolea begitu besarnya dalam kehidupan bermasyarakat etnis Tolaki. Menjadi mediator saat masyarakat bahkan antara pemerintahan yang berselisih.
Hari itu, para tolea dan pabitara tak sekedar datang dan duduk, tapi semangat belajar dan berunding bersama wakil dari pembesar Lembaga Adat Tolaki, menjadi pemandangan jarang terlihat belakangan ini. Bisa jadi inilah kegiatan pertama semenjak pengukuhan pertama kali pengurus Lembaga Adat Tolaki Sulawesi Tenggara.
Para Tolea dan Pabitara sengaja berkumpul untuk satu tujuan menyatukan kembali persepsi bersama, tentang tata cara menjalankan adat istiadat etnis Tolaki yang dinilai sudah mulai jarang dipraktekkan, seiring perkembangan jaman.
Dari pertemuan tersebut setidaknya tergambar semangat yang kuat dari para tolea/pabitara. Antusias para pemangku adat di desa ini begitu kuat untuk turut mendukung jalannya kegiatan. Mereka bahkan ada yang rela datang dari jauh di desa di bagian hilir sungai Konawe-Eha menunju Desa Porabua, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka, tempat dilaksanakannya kegiatan pelatihan adat.
Mengumpulkan para tolea dan pabitara memang tidaklah gampang. Selain tempat domisili mereka yang cukup jauh di pelosok, pekerjaan para pemangku adat ini memang cukup padat. Sehari mereka bisa melayani banyak kegiatan adat, khususnya acara peminangan dan perkawinan. Sehingga membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk mendapatkan konfirmasi kesediaan mereka berkumpul.
Namun bukan hanya soal kesiapan para tolea dan pabitara yang menjadi kendala, melainkan masih rendahnya kepedulian pihak pihak atas kegiatan yang berbau budaya istiadat. Termasuk dukungan dari pemerintah daerah yang masih memandang kegiatan hanyalah pelengkap. Di sisi lain para pelaku adat di lembaga adat tolaki juga dinilai masih rendah kepedulian.
Sebelum menggelar perundingan adat, para tolea dan pabitara terlebih dahulu menjalani prosesi Tinodeha atau pelaksanaan sumpah adat, yang dipandu oleh Bapak Arsamid Al Ashur, pengurus dewan pimpinan pusat Lembaga Adat Tolaki. Prosesi Tinodeha ini disakralkan, dimana para tolea/pabitara diharuskan memegang ambahi atau tikar yang diatasnya diletakkan kalo.
Secara harfiah Kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang melingkar, dan pertemuan-pertemuan atau kegiatan bersama di mana para pelaku membentuk lingkaran. Kalo dapat dibuat dari rotan, emas, besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan dari kulit kerbau. Pembuatan kalo pada dasarnya adalah dengan jalan mempertalikan atau mempertemukan kedua ujung dari bahan-bahan tersebut pada suatu simpul.
Kalo meliputi osara (adat istiadat) yang berkaitan dengan adat pokok dalam pemerintahan, hubungan kekeluargaan-kemasyarakatan, aktivitas agama- kepercayaan, pekerjaan-keahlian dan pertanian (Tarimana 1993: 20).
Dari berbagai jenis kalo, yang dikenal luas adalah yang terbuat dari rotan, kain putih dan anyaman. Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah.
Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang. Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol Sangia Mbu’u (Dewa Tertinggi), Sangia I Losoanooleo (Dewa di Timur) dan Sangia I Tepuliano Wanua (Dewa penguasa kehidupan di bumi), dan wadah anyaman adalah simbol Sangia I Puri Wuta (Dewa di Dasar Bumi).
Kalo juga merupakan simbol manusia: lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah symbol badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (angota). Demikianlah konsep kalo pada pola pikir dan mentalitas Tolaki menyangkut seluruh aspek kehidupan mereka.
Kalo juga merupakan ekspresi konsepsi orang Tolaki mengenai unsur-unsur manusia, alam, masyarakat dan hubungan selaras antarmanusia dan antara manusia dengan unsur-unsur tersebut, termasuk dalam komunitas dan pola permukiman, organisasi kerajaan dan adat dan norma agama yang mengatur tata kehidupan mereka.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa kalo melambangkan keselarasan dalam kesatuan-persatuan antara segala hal yang bertentangan dan tampak bertentangan dalam alam tempat berhuni manusia Tolaki. Melihat apa yang dapat disumbangkan konsep kalo tersebut bagi pengembangan filsosofi arsitektur permukiman rakyat, sudah sepantasnya untuk diketahui lanjut dari manakah asal-usul kalo.
Bertolak dari pemikiran dan justifikasi bahwa hukum adat memiliki hubungan fungsional yang sangat erat dengan dinamika dan gerak sejarah di tubuh masyarakat hukum adat, maka posisi hukum adat yang bersumber dari satu latar belakang sejarah yang telah muncul bertendensi ke arah pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda dapat memicu perpecahan internal kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri.
Lembaga Adat Tolaki memandang perkembangan hidup manusia semakin cepat bergerak maju dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih, sementara itu masyarakat senior hukum adat berangsur-angsur hilang di telan zaman dan tulisan pedoman tidak ada yang mereka tinggalkan.
Perkembangan yang terjadi membawa pengaruh terhadap pola pikir dan pergeseran tata nilai budaya. Pada gilirannya generasi penerusnya akan kehilangan jejak di saat generasi penuturnya sudah habis terkubur bersama tuturannya.
Menurut Arsamid Al Ashur, pengurus dewan pimpinan pusat Lembaga Adat Tolaki, perkembangan kebudayaan Tolaki mengikuti perjalanan hidup manusia dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Dampak dari pekembangan yang terjadi adalah pergeseran tata nilai. Ada tradisi dari leluhur yang hilang dan sudah tidak diketahui, tetapi ada hal baru yang muncul dan menurut penyesuaian lalu dibudayakan.
Baginya, pengetahuan dalam bentuk penuturan, akan berakhir dan hilang ditelan masa , ketika penuturnya meninggal, tuturan akan terkubur bersama penuturnya. Saat itu generasi penerusnya akan kehilangan jejak dan kebudayaan leluhurnya akan punah.
Upaya pelestarian yang berjalan selama ini adalah penanganan berbagai urusan adapt yang muncul di masyarakat oleh para pelaku adat, kendati banyak diantaranya yang tidak karismatik, tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang adapt istiadat dan belum dikukuhkan /disumpah serapahi, tetapi hanya bermodalkan bakat dan kemauan.
Penanganan suatu urusan adat, ada yang berdasarkan kehendak dan kepentingan yang punya urusan, juga ada yang menurut pendapat pelaku adat. Faktor itulah yang kemudian menimbulkan terjadinya perbedaan wujud dan tata cara pelaksanaan antara lingkungan tentu dengan lingkungan umumnya.
Hasil temu budaya tahun 1996 telah banyak masalah hukum adat yang mendapat pembenaran di atas kebenaran, namun belum menyentuh seperti yang diharapkan. Perkembangan budaya tolaki terus berkembang secara pesat seama kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Meskipun pedoman hasil temu budaya tahun 1996 sudah sementara berjalan, walaupun belum merata di seluruh wilayah hukum budaya Tolaki, tetapi bila diamati secara seksama telah terdapat beberapa ketentuan yang dianggap sudah tidak sesuai dengan situasi dan perkembangan yang terjadi. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peninjauan penyesuaian dipandang perlu dilakukan.(Yos Hasrul)*** http://www.kendarikita.com/2011/12/intip-tradisi-peminangan-suku-tolaki.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar