Sekali waktu saya berkunjung ke Cagar Alam Napalano di Pulau Muna, salah satu yang menarik di dalamnya adalah pohon jati besar berdiri kokoh dan tampak perkasa yang telah berumur ratusan tahun .
Cagar Alam Napabalano yang merupakan wilayah kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara, bisa capai dengan perjalanan dari Kota Kendari dengan menggunakan roda dua dan kendaraan roda empat, yang ditempuh sekitar dua jam perjalanan untuk sampai ke pelabuhan Torobulu Kabupaten Konawe Selatan.
Dari pelabuhan Torobulu, selanjutnya kita menggunakan fery yang akan membawa menuju pelabuhan Tampo Kabupaten Muna ditempuh sekitar 2 jam perjalanan. Setelah kapal fery dari pelabuhan Torubulu merapat di pelabuhan Tampo. Kita akan menyaksikan sebuah perkampungan tua, warganya selalu ramah menyambut siapa saja yang berku njung. Puluhan tukang ojek siap membawa kita kemana saja yang kita suka.
Berkunjung ke Kecamatan Napabalono, daerah yang sejak dahulukala dijadikan sebagai daerah persinggahan dan pertemuan antara Sultan Buton dan bangsawan Muna, tak lengkap rasanya, jika tak bersiarah ke “nenek moyang” jati Muna yang sampai saat ini masih menampahkan keperkasaannya di tengah maraknya tindak illegal logging di pulau penghasil jati kelas satu itu..
Hanya menempuh 10 menit dari pelabuhan Tampo dengan mengunakan jasa tukang ojek, para pengunjung yang ingin menikmati keindahan rimbunan panaroma alam Cagar Alam Napabalo telah sampai di bibir hutan. Semak belukar yang seolah membentuk terowongan, menjadi gapura pintu masuk bagi pengunjung. Untuk mencapai pohon jati yang penuh misteri itu, hanya berjarak kurang lebih 50 meter dari pinggir hutan atau jalan raya menuju Ibukota Kabupaten Muna (Raha).
Informasi usia jati itu masih menimbulkan kesimpang siuran, masyarakat setempat memperkirakan telah tumbuh sejak 350 tahun silam. Namun berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kepala Cagar Alam Napabalono, La Fare mengatakan uji ilmiah yang pernah dilakukan menyebut angka 200 tahun untuk usia pohon jati itu.
Sisa kejayaan hutan jati Muna itu tak hanya dijadikan sebagai simbol kebanggaan daerah Muna, lebih dari itu ternyata nenek moyang jati itu bagi masyarakat setempat dipercaya memiliki nilai mistik yang sampai saat ini masih dianut, membuat jati tertua di Indonesia dapat tetap berdiri kokoh.
Saat rombongan wartawan yang tergabung dalam Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan) berkunjung ke Cagar Alam Napabalono akhir pekan lalu, sejumlah warga setempat juga turut mendampangi kami berkunjung ke Cagar Alam yang dulu pernah ditetapkan sebagai cagar alam terkecil di Indonesia karena hanya memiliki luas 9,20 hektar itu.
Berdasarkan informasi dari pihak pengelola Cagar Alam Napabalano, pohon jati itu memiliki diameter sekitar 7 meter. Menurut La Fare Kepala Cagar Alam Napabalano, dibutuhkan tujuh hingga delapan orang dewasa untuk dapat mencapai lingkaran pohon jati yang sudah berumur lebih dari dua abad itu.
Cagar Alam Napabalono merupakan salah satu kawasan konservasi tertua di Indonesia, yang ditetapkan sejak pemerintahan Belanda pada 1 Juni 1919 melalui SK ZB Van Buton. Sebelumnya Cagar Alam Napabalano adalah adalah hutan negara. Latar belakang penunjukkan sebagai cagar alam dikarena kawasan ini memiliki tipe ekosistem hutan daratan rendah dan menjadi rumpun jati alam serta memiliki berbagai keanekaragaman hayati.
Terjaganya pohon raksasa itu dari tangan-tangan jahil manusia, selain karena berada di areal kawasan cagar alam, juga karena adanya pandangan mistik masyarakat setempat tentang pohon jati itu, banyak masyarakat lokal di sekitar Napabalo dan Tampo mengeramatkan pohon jati tertua di Pulau Muna itu.
Berkembangnya pandangan mistik itu, membuat tak sedikit masyarakat dari luar Muna, yang penasaran akan kekeramatannya, berkunjung dan mengabadikan pohon jati itu dengan cara berpose di depan pohon jati. Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri dan Menteri Kehutanan MS Kaban, hanyalah salah satu dari sekian pejabat negara yang pernah berkunjung di pohon jati tertua di Indonesia itu.
Akar jati yang menjulur keluar dari perut bumi semakin menambah keanggungan pada Sang Maha Pencipta. “Luar biasa kune,” celutukan khas masyarakat Muna ketika bercerita tentang jati tersebut.
Diceritakan oleh La Fare yang baru tiga bulan lalu bertugas di Tampo bahwa, sudah sering dirinya mendapati orang yang datang bertapa di bawah pohon jati tua itu dengan tujuan untuk meminta pengobatanan dan kekuatan, “ada orang datang dari Kendari ada juga orang sini, alasannya minta kekuatan,” ungkap pria asli Tampo yang baru saja dipindahkan tugaskan dari Taman Nasional Boganani Wartabone yang terletak diantara dua propoinsi yaitu Sulawesi Utara (Sulut) dan Gorontalo.
Tak jauh dari pohon jati itu itu, sebatang pohon jati yang besarnya mirip tidak berbeda, terbujur tumbang, “mungkin usianya sudah tua sekali,”duga Sarjono warga Tampo yang sehari-harinya bekerja sebagai petani sejak tiga tahun yang lalu, dengan memanfaatkan hutan produksi yang sudah gundul di sebelah selatan Cagar Alam Napabalano.
Kengerian masyarakat lokal terhadap pohon jati itu bukan tak beralasan, suara-suara halus dari atas pohon kadang terdengar saat pengunjung melintas maupun berdiri lama dibawah jati besar itu. “Jangan berdiri disitu,” kata Halija, menirukan suara perempuan yang pernah didengarnya dari arah atas pohon jati itu.
Halija sendiri adalah ibu rumah tangga yang pekerjaan sehari-harinya adalah pedagang di Tampo, Ia mengaku jarang masuk cagar alam Napabalono. “Larangan suara itu bukan hanya satu dua orang yang dengar, sudah banyak orang yang dengar,” aku wanita paroh baya itu.
Keanehan lain yang pernah disaksikan sendiri oleh La Fare, adalah saat kebakaran di hutan lahan produksi yang tidak jauh dari cagar alam hendak merambat masuk, tiba-tiba meredup padam, “seolah ada orang yang memadamkan tapi setelah itu orangnya menghilang,” tutur rimbawan yang ditugaskan menjaga kawasan konservasi seluas 9,2 hektar tanpa perlengkapan yang memadai seperti alat teropong dan persenjataan. Bahkan profil Cagar Alam Napabalano pun tak dimilikinya.”Sunggu ironis dan memprihatinkan” kawasan konservasi tertua di Indonesia namun tak mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Cagar Napabalono selain memiliki jati (Tectona grandis) tertua dan terbesar di Indonesia, Cagar alam itu juga memiliki berbagai jenis tanaman tropis lainnya seperti pohon beringin (Ficus benyamina), ippi (Intsia bjiuga), waru (Hibicus tiliaceus), eha (Castanopsis buruana), mahoni (Switenia macrophylla) serta pohon cendana (Santalum sp) juga tertancap kokoh dalam kawasan konservasi yang kerap dipakai sebagai lokasi pendidikan kader konservasi itu.
Beberapa satwa langka seperti rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus spp), monyet hutan Sulawesi (Macaca ochreata), biawak (Varanus spp) dan beberapa jenis burung rangkong, merpati hutan, burung nuri dan ayam hutan (Gallus gallus) kian melengkapi dan menghiasi hunian cagar alam Napabalano. Atraksi monyet merupakan tontonan yang sangat menarik pengunjung yang bisa disaksikan pada pagi hari antara pukul 6 hingga 9 00 Wita.
Satwa yang paling endemik lainnya adalah burung yang disebut Srigunting. Burung Srigunting memiliki keunikan tersendiri karena badannya kecil, ekornya panjang menyerupai gunting yang sedang terbuka, “Disebut Srigunting karena ekornya mirip gunting,” jelas La Fare.
Untuk mengamankan kawasan cagar alam Napabalano, La Fare hanya dibantu oleh salah seorang rekannya. “Jumlah kami disini hanya berdua,” kata La Fare yang mengeluhkan kekurangan personil untuk menjaga kawasan yang sudah mulai rawan pencurian itu. “Sejak hutan produksi kosong, kelihatannya masyarakat sudah tidak takut lagi akan kekeramatan cagar alam ini,” ungkapnya sambil menambahkan desakan ekonom i menjadi salah satu pemicu perilaku adegan liar itu (illegal logging red).
Sejak tiga bulan bertugas di Napabalo, alumni anggakatan 94 Sekolah Menengah Atas (SKMA) Makassar itu, mengaku sudah pernah menjerat pelaku pencurian kayu hingga kepengadilan. Namun karena si pelaku masih berusia 16 tahun sehingga tak sampai dipenjarakan.
Harapan La Fare kepada pemerintah tak berlebihan, penambahan personil dan peningkatan kesejahteraan petugas lapangan serta perlengkapan saat bertugas menurutnya perlu diperhatikan oleh pemerintah. “Saya sebagai orang putra daerah di sini hanya mengharapkan agar ada penambahan tenaga untuk menjaga kawasan mengingat belakangan ini makin marak tindak pencurian kayu ke dalam kawasan hutan. Kemudian karena kami ini orang lapangan yang hanya mengharap gaji toh tidak ada honorer begitu, hanya jalan dengan tangan kosong (tak dilengkapi senjata red) apalagi kita ini tidak punya kendaraan,”terangnya.
Keberadaan Cagar Alam yang minim fasilitas itu, dan hanya berjarak 50 meter dari pemukiman warga itu, kedepan bukan tidak mungkin akan mengalami ancaman akan keberlanjutannya yang cukup serius mengingat peralatan yang dimiliki pengelolah Cagar Alam Napabalano sangat terbatas terutama peralatan keamanan.
Ancaman lebih dekat lagi yang menghantui kelestarian Cagar Alam Napabalano diungkapkan La Fare, adalah adanya rencana pemerintah setempat untuk membuat lapangan bola dan sarana hiburan lainnya tepat di samping cagar alam tersebut.“Adanya rencana aparat pemerintah di sini yang mau mendirikan lapangan sepakbola itu memang tantangan bagi kami, masalahnya kalau dibikin lapangan disitu, sangat mengganggu aktivitas satwa-satwa yang ada di dalam situ, sedangkan dengan manusia sendirian saja, mereka sangat peka sekali apalagi dengan banyak orang seperti itu,”ungkapnya.
Jelas rencana itu akan mengusik kedamaian kehidupan satwa yang ada di dalam Cagar Alam Napabalano. Yang bisa dilakukan La Fare kini hanyalah dengan pendekatan ke pemerintah kecamatan agar mau mengurunkan niat tersebut, selain itu La Fare juga mengaku telah melakukan koordinasi dengan kepala seksinya di Dinas Kehutanan Muna untuk menghadap Kepala BKSDA Provinsi Sulawesi Tenggara.
Semua itu dilakukan agar kawasan konservasi tertua di Indonesia itu bisa tetap terjaga kelestarianya. “Dulunya juga bahkan terkecil. Tapi sekarang tidak lagi, karena banyak cagar alam ditetapkan belakangan ini, luasnya lebih sedikit dari sini. Seperti cagar alam yang ada di Jawa Barat, hanya satu hektar. Hanya saya lupa namanya,”jelas La Fare.
Menurutnya pemerintah mestinya memikirkan perlunya penambahan areal 100 meter sebagai daerah penyangga kawasan Cagar Alam. Salah satu tokoh masyarakat Tampo-Napabalano Ismet Efendy, menuturkan keprihatinannya. Jati terbesar yang menjadi kebanggaan Pulau Muna itu, bisa saja menjadi jati terakhir sebagai saksi sejarah yang membuktikan kejayaan pohon jati di Pulau Muna. “Bisa saja menjadi jati terakhir yang ada di pulau ini, jika tanpa perhatian serius untuk menjaganya,” kata mantan anggota DPRD Sultra ini dengan nada prihatin.
“Jati terakhir” yang diungkapkan Ismet perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, karena tak menutup kemungkinan jati terbesar yang menjadi kebanggaan masyarakat Muna itu akan ditumbangkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung, sehingga kejayaan jati Muna hanya tinggal sebuah kenangan.*** (Marwan Azis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar