Rabu, 12 Desember 2012

Benteng Wolio Tetap Jadi Daya Tarik Buton

BENTENG Wolio dengan struktur batu karang dan campuran putih telur terlhat kokoh
BUTON, (PRLM).- Berkunjung ke Buton, Sulawesi Tenggara, akan terasa hambar kalau tidak mampir ke Benteng Wolio (Keraton Buton). Benteng yang dibangun oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji (bergelar Sultan Kaimuddin) pada abad 16 itu banyak menawarkan keunikan. Sejarah awalnya, bangunan tersebut hanya sebagai pagar pembatas komplek istana Keraton Buton. Namun, dalam perkembangannya, pagar pembatas itu menjadi benteng pertahanan wilayah Buton dari serangan-serangan musuh dari luar.

Selama ini Benteng Wolio tetap menjadi daya tarik andalan wisata Buton, di samping wisata bahari, wisata alam, dan wisata kuliner. Benteng Wolio juga makin dikenal setelah mendapat  pengakuan dari Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia) dan  Guiness Book Record sebagai benteng terluas di dunia dengan luas 23,375 hektare.

Kepala Bidang Informasi Publik, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Ir. Glory Hastanto, M.T. mengatakan, konstruksi bangunan Benteng Wolio sangat berbeda dengan bangunan sejenis di belahan bumi lainnya. Benteng Wolio yang memiliki ketinggian rata-rata 4 meter dan ketebalan 2 meter hanya tersusun dari batu-batu gunung yang menggunakan perekat berupa adonan kapur dicampur cairan putih telur dan agar-agar (rumput laut).

"Walaupun pembangunannya terkesan sederhana, namun kekuatan Benteng Wolio tidak perlu diragukan lagi. Benteng tersebut berdiri kokoh di atas bukit sepanjang kurang lebih 3 kilometer. Letaknya yang di atas bukit, memungkinkan benteng ini sangat strategis untuk pengawasan apa yang akan terjadi di luar istana," ujar Glory.

Seperti bangunan-bangunan peninggalan sejarah lainnya, bentuk Benteng Wolio mengandung makna. Bukan suatu ketidaksengajaan kalau Benteng Wolio memiliki 12 pintu masuk/gerbang (lawa). Justru jumlah pintu masuk itu sudah dirancang dengan melambangkan 12 lubang yang ada pada tubuh manusia. Lubang yang dimaksud, yakni dua lubang mata, dua lubang hidung, dua lubang  telinga, satu lubang anus, satu lubang mulut, satu lubang kecing, satu saluran sperma, satu lubang pusat, dan satu lobang keringat atau pori-pori. Lubang-lubang itu sangat vital, sehingga kalau tidak terjaga akan mendatangkan malapetaka.

Selain memiliki 12 lawa, unsur lain Benteng Wolio, yakni badili (meriam) dan baluara (emplasemen meriam). Untuk 12 lawa, masing-masing punya nama yaitu : lawa rakia, lawa lanto, lawa labunta, lawa kampebuni, lawa waborobo, lawa dete, lawa kalau, lawa wajo/bariya, lawa burukene/tanailandu, lawa melai/baau, lawa lantongau dan lawa gundu-gundu.

Pada masa kejayaan pemerintahan Kesultanan Buton, keberadan Benteng Keraton Wolio memberi pengaruh besar terhadap eksistensi kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh.

Bahkan bangunan-bangunan yang berada dalam kawasan benteng turut terpelihara dalam kurun waktu yang lama.  Seperti bangunan masjid tua, rumah adat, hingga tiang bendera, usianya mencapai ratusan tahun. Masjid tua tersebut samapi sekarang masih digunakan. Tempat ibadah itu dibangun  pada masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang takhta antara tahun 1591-1597.

Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.

Sementara tokoh masyarakat, Ade Muftin mengungkapkan, di  dalam benteng Keraton Wolio itu banyak yang menarik. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno. Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Cina.

Pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu sampai sekarang masih menempati kawasan dalam benteng. Lokasi itu dikenal sebagai perkampungan adat asli Buton dengan rumah-rumah tua yang tetap terpelihara hingga saat ini. "Masyarakat yang bermukim di kawasan benteng ini juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan seni budaya yang kerap dipentaskan pada upacara upacara adat," ujar Ade.

Walau cukup dikenal, menurut Ade, pemerintah daerah setempat tetap harus gencar melakukan promosi agar wisatawan senang  berkunjung ke Buton. Pelayanan terhadap wisatawan pun jangan sampai terlupakan. Sekali wisatawan kecewa, makan akan memberikan dampak buruk. Masih banyak yang perlu mendapat perbaikan, seperti infrastruktur jalan, atau hal-hal kecil seperti memperbanyak tempat kuliner khas daerah setempat. "Dengan pelayanan yang optimal bisa membuat wisatawan betah berlama-lama di Buton," kata Ade.(A-147)***

SUMBER : http://www.pikiran-rakyat.com/node/214607

Tidak ada komentar:

Posting Komentar