KOMPAS.com - Eksplorasi kain tradisi dari berbagai daerah di Indonesia mulai mendapat perhatian sejumlah desainer. Setelah tenun Bali dan Lombok, kali ini perhatian besar sepertinya sedang mengarah pada tenun Buton, asal Sulawesi Tenggara.
Perancang Ian Adrian adalah salah satu yang memutuskan bergelut dengan kain tenun bersejarah ini. Katanya, dia sedang mempersiapkan koleksi terbaru yang akan diperagakan pada gelaran Jakarta Fashion Week mendatang dengan ragam kain tenun dari Buton. Apa yang membuat tenun Buton menarik? Apa kelebihannya?
Ian menuturkan bahwa kain tenun Buton punya sejarah yang panjang. Dulu, kain tenun ini dikenal juga sebagai bahan utama pembuatan uang kampua, yang dipakai untuk pembayaran. Ini merupakan satu satu yang pernah beredar di Indonesia.
Kemudian dari warna, tenun Buton cenderung berwarna cerah, dari merah, biru, kuning, hijau, atau kuning. Ini merupakan cerminan dari kehidupan sosial masyarakat Buton sendiri yang ingin menyampaikan keceriaan, jauh dari kesusahan. Faktor lain, kata Ian, adalah bagaimana tenun menjadi perekat sosial dan kerap dipakai oleh masyarakat setempat untuk upacara adat.
“Saat melihat kain ini, saya seperti terpanggil untuk mencoba mengeksplorasi lebih jauh, kain tradisi ini mestinya mendapat tempat dan perhatian banyak dari khalayak ramai,” ujarnya menambahkan.
Perancang yang tergabung dalam Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) ini mengaku menemukan motif kain tenun Buton yang menarik, didominasi oleh dua motif, yakni vertikal dan horizontal. Konon, motif ini mencerminkan hubungan dengan sang Pencipta dan hubungan dengan sesama manusia.
Cikal bakal motif tenun Buton memang beranjak dari apa yang ada di sekitar masyarakat, dari alamnya yang damai, hingga apa yang mereka yakini. Motif-motif yang ada lalu dikembangkan dengan penambahan ragam hias yang diambil Ian dari apa yang ada di sekitar Buton. Seperti motif hiasan di atap rumah, dekorasi interior, hingga perlengkapan upacara adat. Sebagai negara kepulauan, Buton juga punya kekayaan alam dan tradisi yang beragam.
“Dalam proses pengembangannya, saya juga melihat bahwa perajin tenun dari Buton mayoritas adalah perempuan, mereka bahkan sejak masih remaja sudah menenun,” ungkapnya.
Proses menenun dikerjakan dengan manual tangan dan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Perbedaannya nanti akan terlihat pada ukuran, sementara motif dan warna rata-rata masih akan sama.
“Selain untuk upacara adat, kain tenun ini potensial juga untuk diangkat menjadi busana siap pakai, gaun malam, hingga
cocktail dress. Saya lagi coba kembangkan ke arah ini,” ujarnya.
Dalam pengembangannya, ia menambahkan ornamen-ornamen ke dalam motif tenun yang ada, seperti variasi ragam hias
akepondai (daun berdampingan),
balung ayam,
paluala, akeraba (biola),
akemakulana (lipan), dan lain-lainnya. Pengembangan motif tenun ini diakui Ian punya tanggung jawab moril, dengan berdialog dulu dengan tetua dan budayawan setempat, sejauh mana motif dan kain itu bisa dikembangkan sehingga tidak melanggar pakem.
Selain itu, ia juga mendapat dukungan dari Bupati Buton, Samsu Umar Abdul Samiun; dan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Buton, Elianthie Umar Samiun. Keduanya, menurut Ian, membuatnya lebih leluasa menggali potensi kain tenun dari daerah tersebut.
Ian mengaku optimistis kain tenun Buton akan menjadi incaran dan diminati banyak orang di kemudian hari. Apalagi setelah eksplorasinya ke dalam bentuk desain dan atau rancangan yang berbeda. Ketika kain tenun Buton dicari, maka kata dia, perempuan-perempuan perajin tenun Buton juga akan lebih merasa tertantang untuk berbuat lebih banyak.
Ian berencana memamerkan koleksi kain tenun Buton pada
event JFW mendatang dan
show tunggal di bulan Desember 2013.
Editor :
Felicitas Harmandini