Oleh Yamin
Indas
Tidak banyak
orang yang mau bekerja gratis. Apalagi pada zaman serba materialistis seperti
sekarang, kian banyak orang yang hanya berpikir akan mendapat apa jika dia
berbuat sesuatu. Salah satu di antara orang langka itu adalah La Ode Sirad.
La Ode
Sirad, yang akrab dipanggil Imbo, adalah putra keenam La Ode Dhika, Raja Muna
kedua dari urutan terakhir. Imbo tak hanya peduli terhadap nasib masyarakat
bawah yang tidak berdaya di depan hukum, tetapi dia juga prihatin pada
kelangsungan bahasa daerah Muna.
Mantan
pegawai Bank BNI itu lalu bercerita betapa orang-orang asal Muna yang sekarang
tinggal di kota semakin jarang yang mau menggunakan bahasa daerah Muna, bahasa
ibunya. Setidaknya itulah hasil pengamatannya.
Menurut
Imbo, orang asal Muna berbeda dengan mereka yang berasal dari Buton atau
Tolaki. Dua kelompok etnis tersebut dinilainya masih suka menggunakan bahasa
daerah mereka meski dalam lingkungan resmi, seperti di kantor-kantor
pemerintah. "Sebaliknya, di kantor Bupati Muna jarang terdengar orang
bercakap-cakap dalam bahasa Muna," ujarnya.
Orang Muna
adalah penduduk asli yang berdiam di Pulau Muna, pesisir Pulau Buton, dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Kadatua, Siompu, dan Talaga. Etnis
Muna juga merupakan salah satu kelompok terbesar warga Kota Kendari. Secara
administratif, mereka mendiami Kabupaten Muna dengan populasi 290.358 jiwa
(2006), Kabupaten Buton, Kabupaten Bombana, dan Kota Kendari.
Merasa
khawatir bahasa Muna bakal segera punah, Imbo berusaha melestarikan bahasa
daerah itu. Cara yang dia lakukan adalah dengan menyusun kamus lengkap Bahasa
Muna-Bahasa Indonesia.
Selama dua
tahun terakhir ini dia berhasil menghimpun kosakata, derivasi, dan ungkapan
dalam bahasa Muna sebanyak 13.000 entri."Naskahnya akan dirampungkan awal
Januari 2008 ini sehingga kamus ini bisa dicetak secepatnya," kata Imbo.
Dalam
membuat manuskrip kamus tersebut, pria berusia 67 tahun itu menggunakan Kamus
Besar Bahasa Indonesia edisi kedua terbitan 1991 sebagai panduan. "Sebagai
proses awal, kamus itu saya alihkan ke dalam bahasa Muna," ujar Imbo
tentang teknis penulisan manuskrip kamus.
Prof Dr La
Ode Sidu Marafad, anggota Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
pertama (1988), menyatakan sangat menghargai usaha Imbo melestarikan bahasa
Muna dengan cara menyusun kamus.
"Kita
salut pada semangat dan menghargai kepedulian Pak Imbo terhadap bahasa daerah
Muna," ujar dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Haluoleo Kendari itu.
Bagi Sidu,
punahnya suatu bahasa daerah merupakan kecelakaan sejarah peradaban sebuah
komunitas etnis. Sebab, kata dia, bahasa merupakan identitas dan budaya dasar
manusia dari sebuah kelompok sosial atau etnis.
Biaya
penerbitan
Secara
teknis, penyusunan Kamus Bahasa Muna-Bahasa Indonesia yang dilakukan Imbo sudah
rampung. Manuskripnya hanya tinggal diketik rapi, untuk selanjutnya dibawa ke
percetakan.
Masalahnya,
siapa yang mau membiayai penerbitan kamus bahasa daerah tersebut? Pemerintah
Kabupaten Muna melalui Sekretaris Daerah La Ode Kilo menyatakan sanggup
membantu membiayai penerbitan kamus bahasa daerah tersebut.
Pasalnya,
kalau menunggu dari Imbo tak mungkin. Sudah lima tahun terakhir ia
"pensiun" sebagai kontraktor proyek pemerintah berskala kecil dan
sesekali berbisnis kayu jati sebelum hutan jati Muna habis dijarah.
Kecuali
semangat dan idealisme yang masih berkobar-kobar, kehidupan Imbo kian meredup
pada usianya kini. "Kami sekeluarga hidup dari tabungan yang sebagian juga
digunakan untuk membiayai penyusunan kamus," katanya.
Bantuan
hukum
Sebelum
menekuni pembuatan kamus bahasa daerah, selama belasan tahun Imbo sempat
berpraktik sebagai pemberi bantuan hukum tanpa dibayar oleh mereka yang
berperkara di pengadilan. "Banyak yang mau kasih tanah atau kalung emas
sebagai ucapan terima kasih, tetapi saya tolak. Secuil pengetahuan hukum yang
saya miliki tidak diperoleh melalui bangku sekolah, hanya otodidak. Jadi, saya
merasa kurang pantas untuk mengomersialkan ilmu tersebut," katanya
beralasan.
Imbo memang
bukan sarjana hukum. Namun, dia gemar membaca buku-buku hukum. Sebuah lemari
buku di kamar kerjanya berisi buku-buku yang umumnya tentang hukum.
Salah satu
koleksi buku Imbo adalah Hukum Pidana berisi kumpulan kuliah Prof Satochid
Kartanegara SH dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka lainnya. Buku
stensilan itu, cerita Imbo, merupakan pemberian pengacara Adnan Buyung
Nasution. "Itu tanda mata dari Abang (Adnan Buyung Nasution) ketika saya
bertandang ke rumahnya di Jakarta," tutur Imbo.
Sulitnya
masyarakat menengah-bawah untuk mendapatkan rasa keadilan bila ingin
menyelesaikan masalah melalui lembaga peradilan menjadi motivasi paling kuat bagi
Imbo untuk belajar hukum secara otodidak. "Katanya kita negara hukum,
tetapi mengapa rakyat kecil malah sering kali menjadi korban hukum?" ucap
ayah empat anak itu menggugat.
Perkembangan
dunia hukum di Indonesia memunculkan peluang bagi lulusan SMA Negeri 1 Kendari
tahun 1969 itu untuk berperan membela rakyat kecil di pengadilan. Negara
menyediakan advokat bagi warga yang tak mampu membayar pengacara menyusul
berlakunya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) pada akhir 1981.
Karena di
wilayah Pengadilan Negeri (PN) Raha, ibu kota Kabupaten Muna, belum ada
pengacara yang berpraktik, Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara diKendari
membuka kesempatan kepada warga setempat untuk menjadi penasihat hukum.
Setelah
mengikuti ujian seleksi calon pemberi bantuan hukum yang dilakukan PT Sultra,
Imbo diberi izin praktik di PN Raha. Maka, jadilah dia seorang "pokrol
bambu", pengacara tanpa gelar sarjana hukum. Dari negara, ia mendapat
honor Rp 100.000 untuk setiap perkara yang ditangani.
Meski hanya
seorang "pokrol bambu", ia mengaku banyak memenangi perkara warga
yang dibelanya, termasuk gugatan praperadilan. Salah satu gugatan praperadilan
yang dia anggap istimewa adalah kasus praperadilan terhadap Kepala Polres Muna
pada tahun 1982. Kepala Polres Muna divonis bersalah oleh PN Raha karena
menahan mobil bak terbuka milik seorang warga tanpa dasar hukum kuat.
Setelah ada
ketentuan bahwa pengacara harus bergelar sarjana hukum, Imbo mengundurkan diri.
"Saya masih dipertahankan Ketua PT Sultra karena hampir semua perkara yang
saya tangani menang di pengadilan," ceritanya.
Perkara
terakhir yang dia tangani adalah sengketa tanah (perdata) pada 1997. Ia menjadi
penasihat hukum La Ode Kaimoeddin, Gubernur Sultra (waktu itu) yang juga
kakaknya dari lain ibu. Raja Muna La Ode Dhika yang turun takhta tahun 1938 itu
memiliki 11 istri dengan 27 anak.
Biodata
* Nama: La
Ode Sirad
* Lahir: Raha, Kabupaten Muna,
Sulawesi Tenggara, Agustus
1940
* Pendidikan:
SMA Negeri 1 Kendari, 1969
* Istri: Rosiana Mustamu (54)
* Anak :
- Fajar Imbo SP (40)
- Hartini (38)
- Yesi Katrina (29)
- Sherly Amelia (26)
- Lita Apriani (25)
- Yane Louisa (18)
*
Pencapaian:
- Presiden Direktur PD Soliwunto,
Badan Usaha Milik Daerah
Kabupaten Muna, pada 1970-an
- Anggota DPRD Muna periode
1982-1987
- Memberi bantuan hukum mulai
sekitar 1981-1997
(Sumber : KOMPAS)