Kamis, 29 November 2012

Mengenal Suku Orang Wawonii


Suku Wawonii, adalah suatu suku bangsa asli yang mendiami satu pulau kecil yakni Wawonii sebagai penduduk asli di provinsi Sulawesi Tenggara. Secara etnografis, Keberadaan Orang Wawonii masih kurang dikenal orang, disebabkan oleh karena tidak adanya penelitian atau publikasi yang pernah dilakukan mengenai suku bangsa ini.

Menurut cerita, nenek moyang Orang Wawonii berasal dari kampung Lasolo dan Soropia (Torete) dan daratan Buton Utara di kampung Kulisusu. Mereka telah mendiami pulau ini sejak berabad-abad yang lalu. Tidak jelas benar darimana dan kapan mereka mulai menempati pulau ini. Yang jelas mereka adalah penduduk asli di Pulau Wawonii, dan merupakan suatu suku bangsa tersendiri yang memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda dari suku-suku bangsa lainnya di nusantara.
Satu hal yang unik pada Orang Wawonii adalah bahwa kendatipun mereka tergolong masyarakat pesisir, mengingat perkampungan mereka terletak dipinggiran pantai kecuali satu perkampungan yakni kampung Wawolaa yang berada dipedalaman, namun tingkat keterkaitan mereka dengan laut sangat rendah. Adalah sangat susah menemukan satu Orang Wawonii yang menjadi nelayan. Jika kita bandingkan dengan perkampungan pesisir lainnya, biasanya yang dijemur oleh penduuduk di jalan-jalan atau dihalaman rumah adalah ikan. Atau bahwa perkampungan pesisir identik dengan bau ikan, jala, dan berbagai peralatan nelayan lainnya. Tetapi di perkampungan pesisir Orang wawonii yang dijemur adalah kelapa dan bau yang sangat terasa menusuk hidung adalah bau kopera. Dipinggiran pantai yang nampak adalah rumah panggang kelapa, perahu dan kapal-kapal kecil tetapi bukan untuk mencari ikan namun sebagai alat transportasi untuk mengangkut buah kelapa maupun mengangkut koperasi.
Memang, Kalau Dilihat dari namanya, suku maupun pulaunya, Wawonii secara etimologis berasal dari kata “Wawo” yang berarti di atas, dan “nii” yang berarti kelapa. Jadi Wawonii artinya adalah “diatas kelapa”. Secara factual kenyataannya memang demikian. Pulau kecil tersebut penuh dengan tanaman kelapa khususnya dipesisir pantainya. Tanaman kelapa inilah yang menjadi sumber penghidupan utama Orang Wawonii selain berladang berpindah, mengolah kayu dan merotan.

Suatu kenyataan yang cukup kontras dengan letak geografis masyarakatnya yang berada dipesisir pantai adalah susahnya untuk memperoleh ikan atau hasil-hasil laut lainnya bagi pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari. Bahkan untuk kebutuhan yang satu ini, mereka hanya mengharap dari nelayan/Orang Bajo yang singgah diperkampungan mereka. Tetapi bila tidak ada yang singgah dalam beberapa hari maka selama itu pula mereka tidak mengkonsumsi ikan.
Orang Wawonii lebih mengutamakan kopra daripada menangkap ikan di laut. Karena kopra sudah menjadi semacam tradisi bagi masyarakat Wawonii. Di perkampungan pesisir Orang wawonii, mereka memanfaatkan lahan pesisir pantai sebagai tempat untuk menjemur kelapa untuk menghasilkan kopra serta banyak terdapat rumah panggang kelapa, perahu dan kapal-kapal kecil tetapi bukan untuk mencari ikan namun sebagai alat transportasi untuk mengangkut kopra.

Sebagai sumber mata pencaharian utama, tanaman kelapa merupakan infra struktur ekonomi masyarakat yang sangat vital. Buah kelapa diolah menjadi kopra lalu kemudian di pasarkan di Kota Kendari dengan menggunakan perahu layar (kapal) masyarakat setempat. Berladang berpindah juga dikerjakan oleh Orang Wawonii yang dilakukan dengan membuka hutan dengan sistem tebang bakar (shifting and burning cultivation). Areal yang dibuka dijadikan sebagai ladang dengan ditanami tanaman jangka pendek seperti padi, jagung dan berbagai macam sayur-sayuran. Selain itu, areal perladangan juga ditanami dengan tanaman jangka panjang yaitu kelapa. Kawasan perladangan ini diolah untuk 1 (satu) hingga 3 (tiga) kali maksimal musim tanam dan setelah itu pindah lagi ke lokasi yang baru. Kawasan perladangan masyarakat ini, tidak jauh dari perkampungan penduduk, tetapi hanya beberapa kilo meter saja yang ditempuh dengan jalan kaki.

Beberapa kisah yang banyak diketahui tentang orang Wawonii, adalah bahwa suku bangsa ini identik punya ilmu hitam yang sangat ampuh, mujarab dan manjur untuk melumpukan orang lain. Sedangkan menurut orang Wawonii, bahwa ilmu hitam itu hanya dimiliki orang-orang tertentu saja. Saat ini ilmu hitam sudah sangat jarang digunakan oleh orang Wawonii. Tapi terlepas dari cerita ilmu hitam tersebut, orang Wawonii adalah orang yang sangat ramah dan terbuka, baik dalam pergaulan sesama mereka maupun dengan orang luar.

Mata pencaharian orang Wawonii adalah pada bidang pertanian. Mereka menanam padi padi, jagung, dan kacang hijau, maupun tanaman perkebunan seperti kelapa, cengkeh, jambu mete, kakao, pala, dan pisang. Tanaman kelapa menjadi sumber penghidupan utama Orang Wawonii selain berladang berpindah, mengolah kayu dan merotan. Buah kelapa diolah menjadi kopra dan hasilnya dijual di kota Kendari dengan menggunakan perahu layar (kapal) masyarakat setempat. 

Sedangkan mengolah kayu dan merotan hanya dilakukan oleh sebagian kecil penduduk dan umumnya hanya dibutuhkan untuk kepentingan pembuatan rumah masyarakat. Untuk mengelola dalam jumlah yang besar, Orang Wawonii tidak pernah melakukannya. Hal ini lebih dikarenakan oleh tingkat ketergantungan mereka terhadap tanaman kelapa yang sangat tinggi. Sebagai contoh, kegiatan merotan hanya dilakukan oleh Orang Wawonii dikampung Tekonea dan Polara, itupun hanya pada masa-masa senggang apabila telah memanen kelapanya.
                   http://protomalayans.blogspot.com/2012/11/suku-wawonii-sulawesi.html      

Sabtu, 24 November 2012

Pertunangan dalam Adat Masyarakat Tolaki

"Masyarakat Tolaki"-Photo Tempo dulu

Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara. Suku ini mendiami daerah yang berada di sekitar Kabupaten Kendari dan Konawe. Suku Tolaki adalah salah satu suku terbesar yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna. Asal kata tolaki dipercaya berasal dari to “orang atau manusia”, laki ” laki-laki”, maka Tolaki sering dimaknai sebagai manusia yang memiliki ‘kejantanan’ yang tinggi, berani, dan menjunjung tinggi kehormatan serta harga diri. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit).
Pertunangan dalam adat masyarakat Tolaki merupakan proses pembelajaran dan pelatihan bagi mereka yang akan menikah. Biasanya, pertunangan terjadi karena mereka yang akan menikah belum dewasa, sehingga harus menunggu hingga salah satunya benar-benar dianggap dewasa. Itulah kenapa masyarakat Tolaki mengenal dan kadang melaksanakan prosesi pertunangan.
Pertunangan akan berlaku sejak lamaran diterima. Berbagai hal yang menyangkut kehidupan berkeluarga akan diberikan sebagai pembekalan. Tujuannya adalah agar keduanya terbiasa dalam menghadapi berbagai masalah di dalam kehidupan mereka nantinya.
Bagi pihak laki-laki, pertunangan merupakan keharusan tersendiri agar dapat dinilai langsung oleh pihak perempuan sebelum menyerahkan anak gadis mereka. Calon mempelai laki-laki  harus melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, persyaratan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pihak laki-laki kepada perempuan sebagai bagian dari prosesi pertunangan. Salah satu contohnya: ikut bersama-sama membuka lahan pertanian atau pekebunan di mana proses pembelajaran dalam tahap pertunangan bagi calon mempelai pria akan berlangsung hingga setelah panen.
Penyelenggaraan prosesi pernikahan/perkawinan pada umumnya dapat dipercepat. Namun, diperlukan kesiapan pihak laki-laki di mana pihak perempuan akan memberikan kesempatan seluas-luanya untuk mempersiapkan persyaratan atau pun hasil kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya baik berkenaan dengan nilai mahar maupun penyelenggaraan pesta. Akan tetapi, syarat yang paling utama adalah calom mempelai pria tersebut sudah cukup dewasa.
Tradisi perkawinan etnis Tolaki juga mensyaratkan adanya hubungan yang baik antara pihak laki-laki dan perempuan dalam menentukan arahan bagi masa depan kedua mempelai. Sebagai bukti, nilai mahar yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan pada saat pertunangan dan perkawinan merupakan buah dari kesepakatan yang telah terlebih dahulu dirundingkan. Selain itu, pada dasarnya terlaksananya perkawinan secara sempurna yaitu saat kedua belah pihak  sudah siap untuk menyelenggarakan pesta perkawinan sehingga dapat dihindari terjadinya kekurangan biaya atau dalam ungkapan adat Tolaki disebutsalabao.
Tradisi pertunangan dalam masyarakat Tolaki sudah dilaksanakan secara berkesinambuangan dari satu generasi ke generasi seterusnya. Kini kehidupan terus mengalami kemajuan dengan segala bentuk perubahan yang kian menghampiri kehidupan anak zaman sekarang ini. Tapi dengan upaya pelestarian nilai-nilai kehidupan yang ada kiranya hal tersebut seharusnya tidak terkikis dan hilang seiring gilasan roda kebudayaan modern. Sebagai jalan keluarnya, kepedulian dan perhatian kita semua harus lebih ditingkatkan terhadap adat dan budaya yang memiliki kebermanfaatan yang luar biasa tersebut, agar kita tetap menjadi bangsa yang besar dengan jati diri yang tetap mengakar dari budaya masa lalu yang adiluhung. (_soedi
Sumber: http://wacananusantara.org/tolaki-pertunangan-dalam-adat-masyarakat-tolaki/

Kamis, 15 November 2012

Masuknya Islam di Buton Sulawesi Tenggara

Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Madadalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Salah satu istana Sultan Buton yang masih dapat dijumpai di Kota Baubau

















Sejarah Awal
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memelukagama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathaniyang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Kraton Buton di tahun 1910-1940
















Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialahbahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di MalakaJohor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di PulauButon, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Raja Buton Masuk Islam
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.

Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama Soekarno
Di Pulau Batu atasButonSyeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dariMaluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi kePulau Buton, menghadap Raja ButonSyeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Butonmemeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Walau bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada sumber yang lain disebutkan bahawaSyeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai SultanButon pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru beliau yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.

Kesultanan Buton










Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada hubungan antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.

Bangsawan Buton
Pemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, RatuWaa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat kesultanan buton adalah lambang demokrasi kesultanan buton. di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.
Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai berikut:
Eksekutif= Sara Pangka
Legislatif= Sara Gau
Yudikatif= Sara Bitara
Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi
Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.
Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton.

Politik
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Masyarakat
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.

Perekonomian
Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Hukum
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam bahasa wolio dikenal dengan istilah digogoli.

Bahasa
Etnik Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio.

Bidang Pertahanan
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :

“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakatdan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarahbudaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten ButonKabupaten MunaKabupaten WakatobiKabupaten Bombana,Kabupaten Buton Utara, dan Kota Bau-Bau.

SUMBER : http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton



Selasa, 13 November 2012

Haluoleo, Sosok Pemersatu Sulawesi Tenggara

Patung Haluoleo Sosok Pemersatu Sulawesi Tenggara di depan Makorem 143/Haluoleo, Kendari (foto: widikurniawan)
“Selamat datang di Bandar Udara Haluoleo Kendari…” demikian kata-kata dari pramugari sesaat setelah roda pesawat mendarat di bumi Sulawesi Tenggara.
Tak jarang setelah itu bisik-bisik sesama penumpang terdengar, berbincang tentang siapakah Haluoleo, atau bahkan ada yang bertanya, nama apakah Haluoleo itu? Tentu bisa ditebak jika mereka baru pertama kali datang berkunjung ke Kendari. Nama Haluoleo sendiri baru resmi digunakan sebagai nama Bandara sejak awal tahun 2010 menggantikan nama Wolter Monginsidi.
Selain Bandara, sebelumnya nama Haluoleo telah melekat pada nama universitas negeri di Kendari, yakni Universitas Haluoleo (Unhalu) serta nama markas Komando Resor Militer (Korem) 143 Haluoleo.
Namun, menelusuri jejak sejarah Haluoleo tidak semudah yang dibayangkan. Haluoleo lebih dikenal dalam tradisi lisan yang melahirkan beberapa versi cerita yang berbeda satu sama lain. Sebuah penelitian oleh Rustam Tamburaka, dosen yang juga politisi, mengungkapkan bahwa Haluoleo adalah orang yang sama dari penyebutan nama La Kilaponto, Murhum dan La Tolaki.
La Kilaponto, dikenal sebagai seorang raja yang pernah memimpin di lima kerajaan besar di jazirah Sulawesi Tenggara pada masa silam. Pada masa sekitar abad 17, terdapat ratusan kerajaan dan dari sekian kerajaan itu sekurang-kurangnya terdapat lima kerajaan besar sebagai kerajaan induk dan kelimanya pernah dipimpin oleh La Kilaponto yakni Kerajaan Buton, Kerajaan Wuna, Kerajaan Kaledupa, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Moronene.
La Kilaponto diterima sebagai raja di setiap kerajaan yang dipimpinnya bukan semata-mata karena kharismatik jiwa kepemimpinannya, tetapi juga karena kedekatan hubungan keluarga dengan raja-raja di tempat dia diangkat menjadi raja. Dia tidak saja memiliki hubungan keluarga dengan raja-raja besar di Sulawesi Tenggara, akan tetapi lebih jauh juga memiliki hubungan dengan raja-raja Bugis, Jawa dan China.
Nama La Kilaponto umumnya lebih dikenal di kalangan masyarakat Muna (salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara). La Kilaponto adalah putra Raja Muna keenam bernama Sugi Manuru. Nama Murhum populer di di kalangan masyarakat Buton karena Murhum adalah gelar yang diberikan kepada La Kilaponto setelah diangkat menjadi Sultan Buton. Sementara La Tolaki adalah nama gelar yang diberikan kepada La Kilaponto setelah diangkat menjadi Mokole (raja) di Konawe (kini salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara).
Semasa hidupnya, Haluoleo atau La Kilaponto dikenal sebagai ksatria yang berani, gigih dan tak kenal menyerah membela tanah tumpah darahnya. La Kilaponto pernah memimpin perlawanan terhadap perompak laut yang pada masa itu sering mengganggu di sekitar perairan Flores-Selayar. Konon ia bertempur dengan kelompok bajak laut Tobelo di laut lepas hingga terdampar sampai di Pulau Marege, Australia. Bajak laut Tobelo sebagian terdiri dari orang-orang Portugis dan kerap menggangu aktivitas pelayaran pengangkutan rempah-rempah di wilayah timur nusantara baik di Sulawesi Tenggara maupun Sulawesi Selatan.
Haluoleo saat ini memang belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena rekam jejaknya sebagai pejuang nusantara masih terus digali. Namun, bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, Haluoleo adalah tokoh pemersatu yang menginspirasi. Haluoleo adalah pahlawan bagi masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdiri dari banyak suku dan hidup tersebar di wilayah yang berciri kepulauan.
“Bagi kami tak terlalu penting apakah Haluoleo diakui sebagai pahlawan nasional atau tidak, yang penting nama Haluoleo tertanam di hati masyarakat Sultra sebagai pemersatu,” cetus seorang warga Kendari saat berbincang dengan penulis tentang sosok Haluoleo.
Bahkan dengan namanya yang melekat di simbol-simbol penting Sulawesi Tenggara, Haluoleo telah mampu menumbuhkan kebanggaan terhadap daerahnya. Inilah makna utama dari semangat kepahlawanan, ia tidak harus dilabeli embel-embel pahlawan nasional untuk bisa terus dikenang dan diteladani jasa-jasanya. Haluoleo yang hidup berabad-abad silam dan tak banyak ditulis di buku sejarah, nyatanya terus harum sebagai pahlawan di hati masyarakat Sulawesi Tenggara.
Sumber :
Bahan Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara di Baruga Keraton Buton Sulawesi Tenggara tanggal 5-8 Agustus 2005 oleh Prof. Mahmud Hamundu (blog munakita)
 KendariNews.com
 Wawancara dengan warga setempat

Widi Kurniawan
Sumber : http://yasirmaster.blogspot.com/2012/11/haluoleo-sosok-pemersatu-sulawesi.html

Senin, 12 November 2012

Sultra Raya 2020



Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2003, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tennggara telah memulai ayunan langkah pertama untuk mengawali kebijakan dan program pembangunan hampir 20 tahun ke depan, dengan harapan beberapa landas tumpu telah dapat diupayakan sebagai tapak menuju pragmatik 2020. Mewujudkan Sultra yang maju dan berkembang secara berkelanjutan pada era transparansi global !

Tematik “Sultra Raya 2020” adalah sudut pandang tentang kebijakan dan program menuju kebangkitan Sulawesi Tenggara pada tahun 2020. Artinya, pada tahun tersebut Sultra telah berhasil mencapai posisi sebagai daerah yang maju dan berkembang, serta memiliki kedudukan dan peranan yang berhormat secara nasional dan mondial.
           
Sultra adalah satu dari tidak banyak provinsi yang memiliki potensi budaya lokal, dengan nilai dan semangat lokal, yang luar biasa. Penduduk asli Sultra adalah (i) suku Tolaki, awalnya mendiami daerah kabupaten Kendari dan Kolaka (daratan); (ii) suku Wawonii, di Pulau. Wawonii, serumpun dengan suku Tolaki; (iii) suku Muna atau Wuna, yang mendiami seluruh  daratan Pulau Muna dan pulau sekitarnya; (iv) suku Moronene, awalnya dari utara, lalu mendiami kawasan Moronene, daratan bagian selatan; (v) suku Buton mendiami Pulau Buton; (vi) suku yang mendiami Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko (Wakatobi), serumpun dengan suku Buton.

Di samping penduduk asli, hidup pula (vii) suku Bugis, tersebar di daerah pantai hingga ke pelosok; (viii) suku Makassar dan Selayar; (ix) suku Toraja, Mori, Pamona dan Bungku; (x) suku Minahasa, Sangir, Ambon dan Timor; serta (xi) suku pendatang, di antaranya melalui transmigrasi adalah suku Sunda, Jawa, Bali dan Lombok (NTB). Pada saat ini semua suku praktis telah berbaur, kawin-mawin, ditambah hampir seluruh suku dari Papua hingga Aceh, mengkonstruksikan kekayaan budaya dan peradaban yang mengagumkan dan itulah yang dimaksud dengan Sultra Raya.

Sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika – Tan Hana Darm-ma Mangrwa, warisan sejarah budaya ini wajib dilestarikan. Masyarakat Buton sungguh beruntung masih memiliki peninggalan Keraton Buton yang hampir dapat dikatakan utuh. Saya berfikir. Warisan budaya Wuma di antaranya dapat dikonstruksikan dari Raja Muna V, Sugi Manuru, yang melebar ke arah strata Kaumu, Walaka dan Anangkoli. Di daratan bisa dimulai dengan masa Wakala, Sri Ratu Raja Konawe, sampai pemerintahan Perdana Menteri Sulemandara Saranani di Pondidaha dan jalur-jalur Anakia, juga Puu Tobu yang lain. Ingatan masyarakat Moronene tentang keperwiraan nenek-moyangnya yang bergerak dari Mori (Sulteng) sungguh kemilau bila segera dikonstruksikan dalam situs sejarah dan budaya. Warisan sejarah budaya yang sama bisa diupayakan di kalangan penduduk asli lain yang tinggal di Kolaka, Bombana, Wakatobi dan pulau-pulau yang ada lainnya. Tentu semua ini perlu pengkajian yang cermat.

Yang pasti, Sultra Raya 2020 meletakkan sejarah dan budaya masa lalu sebagai sudut pandang pemerintah dan masyarakat menuju masa depan. Lokalitas justru semakin hadir secara lebih fungsional pada era globalisasi. Dalam kebersamaan antarsuku dan antarbangsa, kita semakin membutuhkan kata “pulang”. Mudik ke haribaan nenek moyang menjadi ritus yang indah dan mengagumkan; country road, kata John Denver dalam nyanyiannya.

Di bumi nenek-moyang ini kita dilahirkan. Dan kelak di bumi yang sama kita akan dikebumikan. Siapa yang menghargai nenek-moyang kita selain kita ?!!

Minggu, 04 November 2012

Komisioner KPUD Dipecat, Pemilukada Sultra Berjalan Lancar

Metrotvnews.com, Kendari:Pemungutan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Sulawesi Tenggara berjalan lancar. Pemungutan suara tetap terlaksana meski lima Komisioner KPUD Sulawesi Tenggara dipecat karena melanggar kode etik.

Warga mendatangi sejumlah tempat pemungutan suara untuk menggunakan hak suaranya, Ahad (4/11) pagi. Di TPS Kelurahan Padaleu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari, proses pemilihan berjalan lancar.

Pelaksanaan pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara itu diambil alih oleh KPU Pusat. Tiga pasangan calon gubernur (cagub) yang bertarung dalam pemilihan hari ini adalah cagub nomor 1 pasangan Buhari Matta dan Amirul Tamin, cagub nomor urut 2 pasangan Nur Alam dan Saleh Lasata, dan cagub nomor urut 3 pasangan Ridwan Bae dan Haerul Saleh Nomr.(***)