Selasa, 17 April 2012

LA ODE SIRAD, PELESTARI BAHASA MUNA


Oleh Yamin Indas
Tidak banyak orang yang mau bekerja gratis. Apalagi pada zaman serba materialistis seperti sekarang, kian banyak orang yang hanya berpikir akan mendapat apa jika dia berbuat sesuatu. Salah satu di antara orang langka itu adalah La Ode Sirad.
La Ode Sirad, yang akrab dipanggil Imbo, adalah putra keenam La Ode Dhika, Raja Muna kedua dari urutan terakhir. Imbo tak hanya peduli terhadap nasib masyarakat bawah yang tidak berdaya di depan hukum, tetapi dia juga prihatin pada kelangsungan bahasa daerah Muna.
Mantan pegawai Bank BNI itu lalu bercerita betapa orang-orang asal Muna yang sekarang tinggal di kota semakin jarang yang mau menggunakan bahasa daerah Muna, bahasa ibunya. Setidaknya itulah hasil pengamatannya.
Menurut Imbo, orang asal Muna berbeda dengan mereka yang berasal dari Buton atau Tolaki. Dua kelompok etnis tersebut dinilainya masih suka menggunakan bahasa daerah mereka meski dalam lingkungan resmi, seperti di kantor-kantor pemerintah. "Sebaliknya, di kantor Bupati Muna jarang terdengar orang bercakap-cakap dalam bahasa Muna," ujarnya.
Orang Muna adalah penduduk asli yang berdiam di Pulau Muna, pesisir Pulau Buton, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Kadatua, Siompu, dan Talaga. Etnis Muna juga merupakan salah satu kelompok terbesar warga Kota Kendari. Secara administratif, mereka mendiami Kabupaten Muna dengan populasi 290.358 jiwa (2006), Kabupaten Buton, Kabupaten Bombana, dan Kota Kendari.
Merasa khawatir bahasa Muna bakal segera punah, Imbo berusaha melestarikan bahasa daerah itu. Cara yang dia lakukan adalah dengan menyusun kamus lengkap Bahasa Muna-Bahasa Indonesia.
Selama dua tahun terakhir ini dia berhasil menghimpun kosakata, derivasi, dan ungkapan dalam bahasa Muna sebanyak 13.000 entri."Naskahnya akan dirampungkan awal Januari 2008 ini sehingga kamus ini bisa dicetak secepatnya," kata Imbo.
Dalam membuat manuskrip kamus tersebut, pria berusia 67 tahun itu menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua terbitan 1991 sebagai panduan. "Sebagai proses awal, kamus itu saya alihkan ke dalam bahasa Muna," ujar Imbo tentang teknis penulisan manuskrip kamus.
Prof Dr La Ode Sidu Marafad, anggota Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama (1988), menyatakan sangat menghargai usaha Imbo melestarikan bahasa Muna dengan cara menyusun kamus.
"Kita salut pada semangat dan menghargai kepedulian Pak Imbo terhadap bahasa daerah Muna," ujar dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo Kendari itu.
Bagi Sidu, punahnya suatu bahasa daerah merupakan kecelakaan sejarah peradaban sebuah komunitas etnis. Sebab, kata dia, bahasa merupakan identitas dan budaya dasar manusia dari sebuah kelompok sosial atau etnis.
Biaya penerbitan
Secara teknis, penyusunan Kamus Bahasa Muna-Bahasa Indonesia yang dilakukan Imbo sudah rampung. Manuskripnya hanya tinggal diketik rapi, untuk selanjutnya dibawa ke percetakan.
Masalahnya, siapa yang mau membiayai penerbitan kamus bahasa daerah tersebut? Pemerintah Kabupaten Muna melalui Sekretaris Daerah La Ode Kilo menyatakan sanggup membantu membiayai penerbitan kamus bahasa daerah tersebut.
Pasalnya, kalau menunggu dari Imbo tak mungkin. Sudah lima tahun terakhir ia "pensiun" sebagai kontraktor proyek pemerintah berskala kecil dan sesekali berbisnis kayu jati sebelum hutan jati Muna habis dijarah.
Kecuali semangat dan idealisme yang masih berkobar-kobar, kehidupan Imbo kian meredup pada usianya kini. "Kami sekeluarga hidup dari tabungan yang sebagian juga digunakan untuk membiayai penyusunan kamus," katanya.
Bantuan hukum
Sebelum menekuni pembuatan kamus bahasa daerah, selama belasan tahun Imbo sempat berpraktik sebagai pemberi bantuan hukum tanpa dibayar oleh mereka yang berperkara di pengadilan. "Banyak yang mau kasih tanah atau kalung emas sebagai ucapan terima kasih, tetapi saya tolak. Secuil pengetahuan hukum yang saya miliki tidak diperoleh melalui bangku sekolah, hanya otodidak. Jadi, saya merasa kurang pantas untuk mengomersialkan ilmu tersebut," katanya beralasan.
Imbo memang bukan sarjana hukum. Namun, dia gemar membaca buku-buku hukum. Sebuah lemari buku di kamar kerjanya berisi buku-buku yang umumnya tentang hukum.
Salah satu koleksi buku Imbo adalah Hukum Pidana berisi kumpulan kuliah Prof Satochid Kartanegara SH dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka lainnya. Buku stensilan itu, cerita Imbo, merupakan pemberian pengacara Adnan Buyung Nasution. "Itu tanda mata dari Abang (Adnan Buyung Nasution) ketika saya bertandang ke rumahnya di Jakarta," tutur Imbo.
Sulitnya masyarakat menengah-bawah untuk mendapatkan rasa keadilan bila ingin menyelesaikan masalah melalui lembaga peradilan menjadi motivasi paling kuat bagi Imbo untuk belajar hukum secara otodidak. "Katanya kita negara hukum, tetapi mengapa rakyat kecil malah sering kali menjadi korban hukum?" ucap ayah empat anak itu menggugat.
Perkembangan dunia hukum di Indonesia memunculkan peluang bagi lulusan SMA Negeri 1 Kendari tahun 1969 itu untuk berperan membela rakyat kecil di pengadilan. Negara menyediakan advokat bagi warga yang tak mampu membayar pengacara menyusul berlakunya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) pada akhir 1981.
Karena di wilayah Pengadilan Negeri (PN) Raha, ibu kota Kabupaten Muna, belum ada pengacara yang berpraktik, Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara diKendari membuka kesempatan kepada warga setempat untuk menjadi penasihat hukum.
Setelah mengikuti ujian seleksi calon pemberi bantuan hukum yang dilakukan PT Sultra, Imbo diberi izin praktik di PN Raha. Maka, jadilah dia seorang "pokrol bambu", pengacara tanpa gelar sarjana hukum. Dari negara, ia mendapat honor Rp 100.000 untuk setiap perkara yang ditangani.
Meski hanya seorang "pokrol bambu", ia mengaku banyak memenangi perkara warga yang dibelanya, termasuk gugatan praperadilan. Salah satu gugatan praperadilan yang dia anggap istimewa adalah kasus praperadilan terhadap Kepala Polres Muna pada tahun 1982. Kepala Polres Muna divonis bersalah oleh PN Raha karena menahan mobil bak terbuka milik seorang warga tanpa dasar hukum kuat.
Setelah ada ketentuan bahwa pengacara harus bergelar sarjana hukum, Imbo mengundurkan diri. "Saya masih dipertahankan Ketua PT Sultra karena hampir semua perkara yang saya tangani menang di pengadilan," ceritanya.
Perkara terakhir yang dia tangani adalah sengketa tanah (perdata) pada 1997. Ia menjadi penasihat hukum La Ode Kaimoeddin, Gubernur Sultra (waktu itu) yang juga kakaknya dari lain ibu. Raja Muna La Ode Dhika yang turun takhta tahun 1938 itu memiliki 11 istri dengan 27 anak.
Biodata
* Nama: La Ode Sirad
* Lahir: Raha, Kabupaten Muna,
         Sulawesi Tenggara, Agustus 1940
* Pendidikan:
  SMA Negeri 1 Kendari, 1969
* Istri: Rosiana Mustamu (54)
* Anak :
- Fajar Imbo SP (40)
- Hartini (38)
- Yesi Katrina (29)
- Sherly Amelia (26)
- Lita Apriani (25)
- Yane Louisa (18)
* Pencapaian:
- Presiden Direktur PD Soliwunto,
  Badan Usaha Milik Daerah
  Kabupaten Muna, pada 1970-an
- Anggota DPRD Muna periode
  1982-1987
- Memberi bantuan hukum mulai
  sekitar 1981-1997
(Sumber : KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar