Rabu, 12 Desember 2012

Benteng Wolio Tetap Jadi Daya Tarik Buton

BENTENG Wolio dengan struktur batu karang dan campuran putih telur terlhat kokoh
BUTON, (PRLM).- Berkunjung ke Buton, Sulawesi Tenggara, akan terasa hambar kalau tidak mampir ke Benteng Wolio (Keraton Buton). Benteng yang dibangun oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji (bergelar Sultan Kaimuddin) pada abad 16 itu banyak menawarkan keunikan. Sejarah awalnya, bangunan tersebut hanya sebagai pagar pembatas komplek istana Keraton Buton. Namun, dalam perkembangannya, pagar pembatas itu menjadi benteng pertahanan wilayah Buton dari serangan-serangan musuh dari luar.

Selama ini Benteng Wolio tetap menjadi daya tarik andalan wisata Buton, di samping wisata bahari, wisata alam, dan wisata kuliner. Benteng Wolio juga makin dikenal setelah mendapat  pengakuan dari Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia) dan  Guiness Book Record sebagai benteng terluas di dunia dengan luas 23,375 hektare.

Kepala Bidang Informasi Publik, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Ir. Glory Hastanto, M.T. mengatakan, konstruksi bangunan Benteng Wolio sangat berbeda dengan bangunan sejenis di belahan bumi lainnya. Benteng Wolio yang memiliki ketinggian rata-rata 4 meter dan ketebalan 2 meter hanya tersusun dari batu-batu gunung yang menggunakan perekat berupa adonan kapur dicampur cairan putih telur dan agar-agar (rumput laut).

"Walaupun pembangunannya terkesan sederhana, namun kekuatan Benteng Wolio tidak perlu diragukan lagi. Benteng tersebut berdiri kokoh di atas bukit sepanjang kurang lebih 3 kilometer. Letaknya yang di atas bukit, memungkinkan benteng ini sangat strategis untuk pengawasan apa yang akan terjadi di luar istana," ujar Glory.

Seperti bangunan-bangunan peninggalan sejarah lainnya, bentuk Benteng Wolio mengandung makna. Bukan suatu ketidaksengajaan kalau Benteng Wolio memiliki 12 pintu masuk/gerbang (lawa). Justru jumlah pintu masuk itu sudah dirancang dengan melambangkan 12 lubang yang ada pada tubuh manusia. Lubang yang dimaksud, yakni dua lubang mata, dua lubang hidung, dua lubang  telinga, satu lubang anus, satu lubang mulut, satu lubang kecing, satu saluran sperma, satu lubang pusat, dan satu lobang keringat atau pori-pori. Lubang-lubang itu sangat vital, sehingga kalau tidak terjaga akan mendatangkan malapetaka.

Selain memiliki 12 lawa, unsur lain Benteng Wolio, yakni badili (meriam) dan baluara (emplasemen meriam). Untuk 12 lawa, masing-masing punya nama yaitu : lawa rakia, lawa lanto, lawa labunta, lawa kampebuni, lawa waborobo, lawa dete, lawa kalau, lawa wajo/bariya, lawa burukene/tanailandu, lawa melai/baau, lawa lantongau dan lawa gundu-gundu.

Pada masa kejayaan pemerintahan Kesultanan Buton, keberadan Benteng Keraton Wolio memberi pengaruh besar terhadap eksistensi kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh.

Bahkan bangunan-bangunan yang berada dalam kawasan benteng turut terpelihara dalam kurun waktu yang lama.  Seperti bangunan masjid tua, rumah adat, hingga tiang bendera, usianya mencapai ratusan tahun. Masjid tua tersebut samapi sekarang masih digunakan. Tempat ibadah itu dibangun  pada masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang takhta antara tahun 1591-1597.

Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.

Sementara tokoh masyarakat, Ade Muftin mengungkapkan, di  dalam benteng Keraton Wolio itu banyak yang menarik. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno. Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Cina.

Pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu sampai sekarang masih menempati kawasan dalam benteng. Lokasi itu dikenal sebagai perkampungan adat asli Buton dengan rumah-rumah tua yang tetap terpelihara hingga saat ini. "Masyarakat yang bermukim di kawasan benteng ini juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan seni budaya yang kerap dipentaskan pada upacara upacara adat," ujar Ade.

Walau cukup dikenal, menurut Ade, pemerintah daerah setempat tetap harus gencar melakukan promosi agar wisatawan senang  berkunjung ke Buton. Pelayanan terhadap wisatawan pun jangan sampai terlupakan. Sekali wisatawan kecewa, makan akan memberikan dampak buruk. Masih banyak yang perlu mendapat perbaikan, seperti infrastruktur jalan, atau hal-hal kecil seperti memperbanyak tempat kuliner khas daerah setempat. "Dengan pelayanan yang optimal bisa membuat wisatawan betah berlama-lama di Buton," kata Ade.(A-147)***

SUMBER : http://www.pikiran-rakyat.com/node/214607

Kamis, 06 Desember 2012

LA KILAPONTO RAJA MUNA YANG MENJADI RAJA DI LIMA KERAJAAN BESAR DI WAKTU YANG BERSAMAAN


Lakilaponto Raja Muna VII 1538- 1541M ), adalah manusia yang fenomenal. Dia memimiliki kesaktian yang tinggi, ahli strategi perang, piawai dalam berdiplomasi serta pakar ketata negaraan. Karena kepiawaiannya tersebut LA KILAPONTO pernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu bersamaan, hal ini dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelar mepokonduaghono Adhati artinya orang yang menggabungkan adat
Merujuk dari naskah diatas berarti LA KILAPONTO Pernah menjadi raja di Kerajaan Muna, Konawe, Mekongga, Kaledupa dan di Buton. Namun dari semua kerajaan tersebut hanya di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.
LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan kerajaan itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat setelah beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagiandari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar.
Sebagai seorang raja di Lima Kerajaan besar LA KILAPONTO tentu saja memiliki kemampuan yang lebih dari yang lainnya. LA KILAPONTO dikenal mewarisi ilmu yang diturunkan oleh ayahandanya SUGI MANURU di bidang Tata Negara, diplomasi dan strategi perang. Potensi yang dimiliki LA KILAPONTO tersebut telah dilihat oleh ayahandanya SUGI MANURU. Olehnya itu sebelum dinobatkan menjadi Raja Muna LA KILAPONTO ditugaskan untuk melaksanakan misi diplomasi dibeberapa kerajaan seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha). Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Hal ini dibuktikan setelah kunjungan diplomatik tersebut sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Kepakaran LA KILAPONTO dalam bidang ketatanegaraan dapat dilihat saat beliau menjaddi penguasa di suatu negeri. Selain Hal ini dapat dilihat pada saat ,menjadi Raja di suatu kerajaan beliau melakukan penataan sisten ketata negaraan Kerajaan tersebut. Beliau juga menanamkan falsafa atau nilai-nilai dasar dalam kehidupanberbangsa dan bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu ;
Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Poadha-adhati. (Saling menghormati )
Keempat prinsip dasar diatas wajib dipahami dan dijalankan oleh setiap warga kerajaan dalam hal ini termasuk juga Raja dan aparat kerajaan lainnya.
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
Hansuru hansuru badha Sumano kono hansuru liwu ( Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan. Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Misalnya Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang diproklamirkan pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN(1597- 1631 M) yang mesakukan nilai-nilai Islam. Konstitusi Kesultanan Buton itudikenal dengan Martabat Tujuh. DAYANU IKHSANUDDIN adalah cucu LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang bersuamikan LA SIRIDATU.
Menurut A.E. saidi dalam makalahnya pada Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di Baruga Keraton Buton 5 - 8 Agustus 2005, Martabat Tujuh di Undangkan oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh yaitu ; 1) Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yangdiajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU pada tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
Selain alhi di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidangdiplomasi serta ahli dalam strategi perang. Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta. Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar HALUOLEO yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Raja Konawe.
Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V LA MULAE)
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>WA ANAWAY ANGGUHAIRAH ( Putri kerajaan Mekongga )
<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Putri raja Jampea
<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAHmemperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPOdan WA ODE KONAWE.
<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPARASI (Sangia Boleko)
<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna)
<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>Perkawinan dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wasugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V), WABUNGANILA(istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero)
Sedangkan kemampuan strategi perangnya dibuktikan saat menumpas pemberontakLA BOLONTIO yang berasal dari TobeloLABOLONTIO terkenal sakti dan sangat kejam sehingga Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja yang bernama WA TAMPOIDONGIWA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut mengundang minat satria-satria di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putrid Raja yang kecantikannya sudah terkenal di mana-mana. Salah seorang petinggi kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah Raja Selayar dan Raja Jampea.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya, namun tidak ada satupun dari satria-satria yangikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton . Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton termasuk Kerajaan Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkanLAKILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LAKILAPONTO meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut. Setelah mendengar masukan-masukan dariLAKILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan, SUGI MANURU Raja Muna VI menyarankan pada LA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpasLABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIOsekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja LA MULAE, LA KILAPONTO langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO,orang yang telah yang membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya. Selain itu aksi yang dilakukan LABOLONTIO dalam melakukan terror pada kerajaan Buton juga meresahkan Kerajaan-kerajaan lain yang bertetangga dengan Buton termasuk Muna. Sebagai Raja yang lagi berkuasa di Kerajaan MunaLA KILAPONTO bertanggung jawab untuk segera menghentikan sepak terjangLABOLONTIO agar tidak meluas di Kerajaan Muna. Dalam hitungan hari saja LA KILAPONTO sudah menemukan LABOLONTIO hingga terjadi adu tanding.
Dalam pertarungan di pasisir Kerajaan Buton, LABOLONTIO di buat bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO. Sebagai bukti telah membunuhLABOLONTIOLA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton LAMULAE. Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna. LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya, LA KILAPONTOoleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu LABOLONTIO berhak mendapatkan hadia seperti isi dari sayembara yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE harus tetap konsisten menjalankan apa yang telah diucapkan. Untuk itu pernikahan antaraLAKILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE, akhirnyaLAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putrid raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTOtetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya di tinggal di Kerajaan Buton bersama Orang tuanya.
Belum cukup satu tahun Menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE. Kesepakatna para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian di sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe.
Atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton, maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar Omputo Mepokonduaghoono Adhatiartinya orang yang mengawinkan adat.
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe, kerajaan-kerajaan lainya yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Mokole dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan berikut Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilahsekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Selama tiga tahun LAKILAPOTO menjadi raja di lima kerajaan tersebut, nilai-nilai Islam yang seberbakan seorang Ulama dari Arab SYEKH ABDUL WAHID dan di bantu seorang imam dari Patani yang bernama FIRUS MUHAMMAD mulaimempengaruhi istana Kesultanan Buton. Setelah Islam diterima di Istana danLAKILAPONTO telah memeluk Islam, maka pemerintahan Buton berubah menjadi kesultanan dan LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan dengan bergelar SultanMURHUM/ SULTAN KAIMUDDIN KHALIMATUL KHAMIS.
Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948 H/ 1542 M ),LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO menyerahkan jabatannyakepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya. Namunyang pasti pada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. WalaupunLAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebutsebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII, kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dariMawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton bagian Utara yaitu Wakorumba dan Kambowa diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO, terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, Setelah Kesultanan Buton bekerja sama dengan Kolonial Belanda dan dalam kerangka politik pecah belah, pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton LA ODE FALIHI, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring ditunjukan oleh raja Muna LA ODE DIKA gelarOMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di Istana Sultan Buton. Sikap RajaLA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna menggantukan LA ODE DIKA.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ), dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun ( (1488- 1491 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPARASI (Sangi Boleka) Putranya dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.

Rabu, 05 Desember 2012

Pulau Kabaena, Pusat Kerajaan Moronene


KENDARI, - Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) di masa lampau merupakan pusat Kerajaan Moronene, salah satu etnis di Sultra.

"Benteng Tawulagi, tempat pelantikan mokole (raja), merupakan bukti kuat bahwa Kabaena pernah menjadi pusat Kerajaan Moronene," kata tokoh budaya Kabaena, Abdul Majid Ege, di Kendari, Kamis (25/11/2010).

Menurut Madjid, ada beberapa benteng penunjang benteng utama Tawulaagi, yaitu Benteng Doule, Tontowatu, Mataewolangka dan Tuntuntari.

"Benteng Tawulagi merupakan tempat pelantikan mokole, mataewolangka tempat mengintai musuh dari arah selatan, Benteng Doule tempat mengintai dari arah barat dan utara dan dua benteng penunjang lainnya masing-masing tuntuntari dan tontowatu merupakan tempat mengintai dari arah timur," katanya.

Di wilayah daratan tenggara Sulawesi sebagai asal muasal etnis Moronene Kabaena, tidak ditemukan benteng seperti di Kabaena.

Itu membuktikan pusat Kerajaan Moronene memang di Kabaena, bukan di wilayah daratan. Di Benteng Tawulagi, kata Abdul Majid Ege, selain masih tampak batu besar dan agak tinggi tempat melantik Mokole, juga terdapat sebuah meriam besar. Dulu, kemungkinan besar untuk melawan penjajah Belanda maupun Tobelo.

"Tobelo merupakan sekelompok orang pada zaman dulu yang kerjanya sebagai perompak laut, bahkan tidak segan-segan merampas dan membunuh warga di daratan," katanya.

Menurut Abdul Madjid, benteng-benteng di Kabaena diperkirakan didirikan pada tahun 1600-an yang digunakan sebagai tempat persembunyian dan tempat bertahan dari para musuh.

Sumber : http://oase.kompas.com

Suku Moronene

Salah satu baju bercorak khas Moronene. (sumber: dekranasdasultra)
Suku Moronene adalah salah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat adat-dulu sering disalahartikan sebagai suku terasing-di Sulawesi Tenggara. Di kaki pulau yang mirif huruf K itu ada suku TolakiMuna, dan Wolio (tiga yang terbesar), lalu ada Wawoni, Moronene, KalisusuCiacia, serta Wakatobi.
Menurut antropolog Universitas HaluoleoKendari, Sarlan Adi Jaya, Moronene adalah suku asli pertama yang mendiami wilayah itu. Namun, pamornya kalah dibanding suku Tolaki karena pada abad ke-18 kerajaan suku Moronene-luas wilayahnya hampir 3.400 kilometer persegi-kalah dari kerajaan suku Tolaki.
Kata "moro" dalam bahasa setempat berarti serupa, sedangkan "nene" artinya pohon resam, sejenis paku yang biasanya hidup mengelompok. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Sebagai petani, peramu, dan pemburu, suku Moronene memang hidup di kawasan sumber air. Mereka tergolong suku bangsa dari rumpun Melayu Tua yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi.
Tidak diketahui kapan tepatnya suku Moronene mulai menghuni kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Tetapi sebuah peta yang dibuat pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah mencantumkan nama Kampung Hukaea, yakni kampung terbesar orang Moronene, yang sekarang masuk dalam areal taman nasional itu. Permukiman mereka tersebar di tujuh kecamatan, enam di Kabupaten Buton dan satu di Kabupaten Kolaka. Di luar komunitas itu, orang Moronene menyebar pula di beberapa tempat seperti Kabupaten Kendari karena terjadinya migrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953.
Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala biasa disebut orang Moronene sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur. Orang-orang Moronene masih sering mengunjungi tobu untuk membersihkan kuburan leluhur mereka ketika hari raya Idul Adha tiba-sebagian warga Moronene beragama Islam. Belakangan, setelah beberapa kuburan digali dan dipindahkan oleh orang tak dikenal, orang-orang Moronene bermukim kembali di Hukaea-Laea. Di zaman administrasi pemerintah Belanda, Hukaea termasuk distrik Rumbia, yang dipimpin seorang mokole (kepala distrik). Rumbia membawahkan 11 tobu, tujuh di antaranya masuk dalam wilayah taman nasional. Menurut Abdi, dari LSM Suluh Indonesia, jumlah orang Moronene di Sulawesi Tenggara saat ini diperkirakan sekitar 50000an, 0,5 persen di antaranya tinggal dalam kawasan taman nasional.
Seperti kebanyakan masyarakat adat lainnya, orang Moronene juga melakukan perladangan berpindah dengan sistem rotasi. Tapi sistem itu sudah lama ditinggalkan dan mereka memilih menetap. Suku Moronene juga dikenal pandai memelihara ekosistem mereka. Jonga atau sejenis rusa, misalnya, masih sering ditemui di sekitar permukiman mereka di Hukaea, termasuk burung kakatua jambul kuning, satwa endemik Sulawesi yang dilindungi. Namun, sifat asli suku ini, yang memegang tegung adat mosobu (pasrah dan tidak melawan), dan etos kerjanya yang rendah membuat mereka rentan terhadap penggusuran.
Buktinya, kehidupan tenang itu perlahan-lahan terusik ketika pemerintah di tahun 1990 menetapkan kawasan itu sebagai taman nasional. Dengan alasan itulah aparat Pemda Sulawesi Tenggara mengerahkan polisi dan tentara menggelar Operasi Sapu Jagat untuk mengusir keluar orang-orang Moronene. Alasannya, biar hutan tak rusak sehingga bisa dijual sebagai obyek ekoturisme dan sumber pendapatan da-erah lainnya. Padahal, hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka diakui oleh Undang-Undang Kehutanan tahun 1999.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moronene

Sabtu, 01 Desember 2012

ASAL USUL PULAU MUNA


Muna pada awalnya dikenal dengan namaWUNA.yang dalam Bahasa Muna berti bunga. Nama itu memberi makna spiritual kepada kejadian alamnya,dimana terdapat gugusan batu yang berbunga. Gugusan batu tersebutmenyerupai batu karang. Pada waktu-waktu tertentu batu karang dimaksud kerap mengeluarkan tunas-tunas yag tumbuh seperti bunga karang. Oleh karena kejadian itulah makamasyarakat Muna menyebutnya sebagai Kontu Kowuna artinya Batu Berbunga . Gugusan batu berbunga tersebut terletak di dekat Masjid tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara ( bahtera?). Tempat dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan Yang melegenda.
Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang terletak pada posisi 4006 samapi 5015 lintang Selatan dan 12208 123015 bujur timur, tepatnya diantara Pulau Sulawesi dibagian Tenggara, Pulau Buton di bagian Timur dan Pulau Kabaena di Sebelah Barat. Selain nama Pulau,Muna juga menjadi nama salah satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan batas-batas administrasi;
1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Spelman.
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Buton.
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Buton,
4. Sebelah Barat berbataan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut merupakan kakak beradik, Putra dari Raja Muna VI Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah menjadi Raja Muna VII sehingga jabatan Raja di kedua kerajaan itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna jabatan Raja diserahkan pada adiknya La Posasu, sedangkan dikeraajaan-kerajaan lainnya tidak ada cacaatan sejaarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan dikerajaan Muna , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
La Kimi Batoa dalam bukunya Sejarah Muna terbitan CV. Astri Raha, menjelaskan pembagian wialayah tersebut karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara).
Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah pulau, baik itu dalam tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namunn secara ilmiah belum ada penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita tentang asal usul Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan Pulau Buton.Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat tersebut.
A. HIKAYAT ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL MUNAJAT
Hikayat Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga ) mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat. Hikayat tersebut menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW. mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat. Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau ( Wuna & Buton ) yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah pulau( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna - ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan hikayat “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”mengenai asal mula Pulau Muna dan Pulau Buton diatas secara ilmiah tidak dapat-dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat hanyalah mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan Buton.
B. TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Tradisi lisan tersebut telah menjadi referensi penulis sejarah Muna untuk menceritakan asal mula Pulau Muna, Dalam tradisi lisan itu dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang.Mereka itu terdampar di sebuah wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA (Bahtera?). Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar laut.
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari Kapal Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut Sawerigading yang berjumlah 40 orang tersebut kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup berates-ratus tahun dikalangan masyarakat muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada waktu-waktu tertentu mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan Kontu Kowunayang artinya batuberbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan Wuna
Walaupu tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna namun tidak dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena dibumbui dengan mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya secara ilmih.
C. EPIK I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan dengan tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabe yang ternyata saudara kembarnya. Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan La bagi laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripna dengan penyebutan nama orang laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar) di pulau Muna. Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua Bangkano Fotu. ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia DR. Anghar Gonggong)
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang lebih mendalam lagi.
D.RELIEF DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah seperti yang dapat dilihat pada panel monitor museum karts Indonesia yang terletak di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Dari panel tersebut kita dapat mengetahi bahwa Pulau Muna hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka, seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai. Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang didasar laut, namun warnanya agak berbeda yaitu putih. Tempat itu dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang telah diteliti seecara ilmiah adalahrelief yang ada di gua Liangkobori dan gua MetandunoRelief yang terdapat di dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada jaman purba. Relieftersebut menurut beberapa penelitian telah berumur lebih dari 25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna telah ada dan telah di huni oleh manusia.